Powered By Blogger

Laman

Jumat, 11 Juni 2010

Rumah Bambu

KOMPAS/BENNY DWI KOESTANTO

Seorang warga memotong bambu di hutan bambu di Banjar Buungan, Desa Tiga, Susut, Bangli, Bali, Sabtu (31/10). Bambu menjadi penopang utama perekonomian sejumlah desa di Bangli.

JAKARTA, KOMPAS.com

Vegetasi bambu berdaya serap karbon dioksida tergolong paling besar, berbeda dengan jenis pohon lain karena bambu memiliki kemampuan fotosintesis efisien, yaitu menyerap kembali sebagian karbon dioksida yang dihasilkan.

Dunia tidak akan bisa menolak bambu dengan ekolabel karena bambu yang tidak dipanen atau dimanfaatkan justru akan membusuk di alam dan melepaskan emisi

Dalam pembahasan di Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark, baru-baru ini, penanaman bambu diupayakan masuk dalam program Alih Guna Lahan dan Kehutanan (LULUCF), serta Reduksi Emisi dari Perusakan Hutan dan Degradasi Lahan (REDD).

”Dunia tidak akan bisa menolak bambu dengan ekolabel karena bambu yang tidak dipanen atau dimanfaatkan justru akan membusuk di alam dan melepaskan emisi,” kata Marc Peeters, salah satu penanam modal usaha pembibitan bambu satu-satunya di Indonesia dengan teknologi kultur jaringan dari Belgia, Senin (1/2/2010) di Jakarta.

Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja telah menyampaikan gagasannya kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta untuk menghidupkan kembali Rencana Aksi Bambu Nasional. Kebijakan itu dikeluarkan Sarwono saat menjabat Menteri Lingkungan Hidup periode 1996-1997.

Peneliti bambu dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Hutan dan Konservasi Alam pada Badan Litbang Kehutanan di Departemen Kehutanan Sutiyono menjelaskan, fotosintesis bambu memiliki mekanisme C4, sedangkan pohon jenis lainnya C3. Artinya, fotosintesis bambu lebih efisien.

Peeters mengatakan, apresiasi dunia terhadap bambu kini meningkat, seperti di Bandara Barajas, Madrid, Spanyol, yang menggunakan bambu untuk langit-langit gedungnya. (NAW)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar